Sebuah wacana pemberantasan korupsi harus dimulai dari bangku sekolah. Hasilnya jangan berharap cepat, paling tidak menunggu satu generasi. Lima belas tahun lagi baru memetik buahnya. Setelah generasi remaja saat ini menempati posisi pimpinan di semua lini. Masih adakah jalan lain yang lebih cepat.?
Penyalahgunaan wewenang oleh oknum penguasa pada era ordebaru dianggap sebagai penyebab krisis multi dimensional tahun 1997. publik berharap akan terjadi perubahan besar ke arah lebih baik setelah reformasi tahun 1998 (Good Vovernance:LAN &BPKP, 2009).
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang direncanakan akan dibentuk pada 33 tempat diseluruh Nusantara, memberikan angin segar bagi rakya Indonesia yang haus akan tegaknya hukum dan keadilan. Namun harapan itu hampir sirna tatkala ditubuh KPK diterpa masalah (Tempo, September-Oktober 2009).
Kebiasaan perilaku buruk selama puluhan tahun tidak hilang begitu saja setelah reformasi. Pewarisan tradisi (negatif) berlangsung terus. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih terjadi, sekalipun sudah dilakukan pencegahan. Undang-undang No. 31 Tahin 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-undang no.20 tahun 2001 telah berhasil menjerat para oknum-oknum yang sama yang sebelum terjaring dan masih ada masalah-masalah yang menggantung tanpa penyelesaian. Sehingga perlu dilakukan reformasi hukum atau bahkan revolusi hukum (Adiwarman dalam Vonis, Pebruari-Maret 2011).
Harapan muncul kembali, setelah ketua baru KPK, Busyro Muqodas terpilih. Setelah ini masih adakah kendala? Lembaga penegak hukum yang sekarang masih mendapatkan kepercayaan rakyat ini sedang diuji. Penyelesaian kasus Bank Century dan tindak lanjut kasus mafia pajak Gayus Tambunan menjadi taruhannya. Dipastikan lembaga andalan rakyat ini akan dapat bekerja dengan baik jika semua pihak memberikan dukungan secara tulus dengan tekad yang sama Negara harus bersih dari KKN.
Pandangan baru muncul. Pemberantasan penyakit korupsi ini harus dimulai dari perbaikan dan pembinaan moral anak disekolah. Character Building, sebutan yang sudah akrab di telinga ini harus dikemas menjadi bahan ajar yang harus diberikan di sekolah. Tentunya tidak menjadi sub kurikulum tersendiri, melainkan terintegrasi dengan mata pelajaran yang sudah biasa diberikan di sekolah dan madrasah.
Efektifkah cara ini untuk memberantas korupsi.? Jawabannya, ya, untuk jangka panjang. Jika pencegahan perbuatan-perbuatan nista ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, insya’Allah 15 tahun mendatang tindak pidana korupsi tidak akan ada lagi. Dengan kata lain tahun 2025 Indonesia baru akan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Haruskah menunggu begitu lama.? Kita perlu belajar ke belahan bumi yang lain.
Hongkong, yang empat dekade silam merupakan sarang koruptor, kini menjadi tempat yang paling bersih dari korupsi. Karena semua pihak akhirnya mendukung lembaga independen anti korupsi (ICAC) semacam KPK di Indonesia. Terutama pihak penguasa paling tinggi disana. Sebaliknya tatkala dukungan setengah hati yang diterima oleh lembaga anti korupsi, kenya kembali terpuruk (Tempo, September-Oktober 2009).
Kapan negara tercinta ini bisa menepuk dada, “Aku bebas dari korupsi?” Tergantung kepada kita penghuni negeri ini sendiri. Terutama para pinpinan dan penyelenggara Negara yang melaksanakan amanat rakyat secara jujur dan bertanggung jawab.
salam kompak seduluran : kentank :)
0 komentar:
Posting Komentar